Lompat ke isi utama

Berita

Masuk Era Post-Truth, Bawaslu Barut Ajak Panwascam Tangkal Penyebaran Hoax

Anggota Bawaslu Barut Amir Membuka Kegiatan Bersama Anggota Adi dan Narasumber Sendi Purwanto

Anggota Bawaslu Barut Amir Membuka Kegiatan Bersama Anggota Adi dan Narasumber Sendi Purwanto

Muara Teweh, Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Barito Utara – Bawaslu Kabupaten Barito Utara (Barut) menggelar Kegiatan Strategi Komunikasi Digital Untuk Menghadapi Politisasi SARA, Hoax dan Black Campaign Pada Pemilihan Serentak 2024 yang diselenggarakan pada 15 Oktober 2024 di Hotel Hayak Tamara Muara Teweh. Bawaslu Barut mengundang Ketua dan Anggota Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) beserta staf panwascam yang membidangi kehumasan untuk hadir sebagai peserta. 

Salah satu narasumber pada kegiatan adalah Bapak Sendi Purwanto yang merupakan Kepala Seksi Statistik dan Pengamanan Data dari Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Kabupaten Barito Utara. Materi yang disampaikan bertajuk Literasi Digital diawali dengan penjelasan beliau bahwa saat ini kita memasuki era post-truth. Kondisi ini bisa terjadi karena persebaran informasi melalui digital yang begitu pesan dan berkembang, dan yang menjadi viral belum tentu itu informasi yang benar. 

Dalam paparannya, beliau menjelaskan setidaknya ada 7 (tujuh) langkah cerdas untuk tangkis Hoax, diantaranya adalah dengan waspada terhadap judul provokatif, teliti apakah situsnya terpercaya, cermati isi berita, cek berita di situs di situs cek fakta, cek keaslian foto, cek keabsahan video, aktif melapor berita hoaks, dan ikuti grup-grup anti-hoax. Berdasarkan UU ITE Pasal 45A, menyebarkan berita hoaks bisa terkena sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 Miliar Rupiah. 

“Penting untuk masyarakat saring sebelum sharing, informasi disaring sedemikian rupa dengan melihat terlebih dahulu sumbernya darimana, jika berita di cek juga keabsahan sumber berita apakah terdaftar di dewan pers,” katanya. 

“Masyarakat cenderung memiliki ketertarikan kepada isu-isu yang sifatnya sensasional dan kontroversial, itu lah yang akhirnya menjadi viral karena sering ditonton publik, dan akhirnya karena semakin viral, semakin banyak juga orang mempercayai hal tersebut benar padahal bisa saja itu hoax,” lanjut Sendi. 

Kondisi ini menurut Sendi dinamakan Cognitive Bias, yang merupakan suatu perilaku masyarakat yang sudah tahu tentang apa yang benar dan bohong dari suatu hal, namun memiliki mekanisme pertahanan diri untuk mengelak tentang kebenarannya. 

“Contoh paling gampang adalah seorang perokok, mereka tahu kalo merokok tidak baik untuk kesehatan tapi mereka tetap merokok dan jika ada yang bertanya mereka akan menjawab sedang dalam proses berhenti merokok,” katanya. 

Perilaku Cognitive Bias dijelaskan oleh Sendi sangat bisa terjadi karena kondisi orang Indonesia itu sendiri. Dalam sejarahnya, karakter asli orang Indonesia cenderung tidak terbiasa berdemokrasi secara sehat karena tidak bisa menerima perbedaan pendapat (Deddy Mulyana, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran). 

“Berdasarkan hasil pengamatan Deddy Mulyana tersebut, memang sejak dulu orang Indonesia suka sekali berkumpul dan bercerita, namun yang dibicarakan belum tentu benar sebab budaya kolektivisime tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data apakah suatu isu benar atau tidak,” jelas Sendi. 

Sendi menutup materi dengan berpesan bahwa tangkal hoaks dapat dimulai dengan kesadaran diri sendiri terlebih dahulu, serta untuk selalu ingat bahwa sebelum membagi informasi penting khususnya dari medsos untuk selalu disaring dan di cek kebenarannya. 

Penulis & Editor : Marthin Sahay